FUJIHARU – Kenapa aku bilang saudaraku, meskipun kita nggak bersaudara? Karena dia adalah tetanggaku. Bukankah menurut islam “Tetangga adalah saudara terdekat kita?”. Apa yang diutarakan itu memang benar adanya. Begitu banyak masa kecil yang aku bisa kaitkan dengan ibu ini. Sampai kabar sedih aku terima dari saudara bahwa Dongiti telah meninggal dunia.
Dongiti adalah panggilan yang aku dan tetangga lain ucapkan ketika memanggilnya. Seorang ibu yang bersahaja. Layaknya seorang ibu, dia juga telaten mengurus anak orang, aku salah satunya. Kenapa begitu? Dongiti dan nenekku berteman dekat. Kemana mana, nenekku akan berusaha mengajak dongiti ikut, kepasar, kondangan dan lainnya.
Dibalik kekurangan nenekku, dongiti terlihat selalu mengalah dan mengerti, makanya aku sangat berterimakasih dan berasa berhutang budi selalu. Disaat anak anaknya nggak bisa membantu menemani nenekku, kita seolah meminta bantuan Dongiti untuk menjaganya. Kenapa? Karena nenekku terkadang lebih memilih jalan kemanapun dengan Dongiti daripada anak anaknya. Mungkin bila dengan anak anaknya, ada beberapa larangan atau hal hal yang kurang berkenan dihatinya, tapi dengan Dongiti, ia seolah lebih dimengerti.
Masa kecilku juga sering bersama keluarga Dongiti. Ia tinggal bersama suami dan anak anaknya. Sejak kecil, aku punya kebiasaan bangun subuh dan sangat takut sekali dengan gelap. Gelap seolah tempat setan setan bersemayam. Rumah kayu tua dari nenekku yang hanya ditinggali oleh 3 orang: Aku, nenek dan kakek jelas membuatku penakut dengan kondisi seperti itu. Setiap kali ke toilet atau mau tidur, aku selalu menunggu mereka untuk masuk kamar atau setidaknya mereka masih ada dalam penglihatanku. Aku lebih memilih tidur dimanapun dengan nyamuk banyak daripada tidur sendirian dikamar tanpa nenek dan kakek.
Ketika waktunya subuh, kakek dan nenek akan pergi ke musholla terdekat dari mulai adzan shubuh sampai sekitar 30 atau 40 menitan kemudian. Gawatnya, aku selalu bangun pada jam segitu.
Baca Juga:
Ketika terbangun, aku tidak menemukan nenek dan kakek. Takut setakut takutnya membuatku menjerit ketakutan dan menangis. Biasanya aku langsung keluar rumah dan langsung mengetuk rumah Dongiti ini. Karena rumah keluarga Dongiti depan rumah, sangat gampang sekali aku pergi ke rumahnya. Saat itu tentu saja nggak ada rasa malu untuk mengetuk minta ditemani sampai nenek dan kakek datang. Bahkan mungkin sering menggangu tidur mereka saat pagi subuh. Aku melihat muka dongiti dan suaminya sebagai penolong saat itu. Karena setidaknya ketakutan akan rasa gelap dan sendirian bisa terobati dengan kehadiran mereka.
Biasanya mereka akan menyuruhku masuk dan menanyakan kenapa sampai menangis. Dan, berkali kali juga aku bilang mencari nenek dan kakek, padahal sudah tahu mereka di musholla. Aku juga malu untuk bilang kalo takut akan gelap. Mereka biasanya menyuruh minum dan menunggu. Terkadang menyuruhku tidur didipan tengah rumahnya sampai nenek dan kakekku tiba.
Setelah nenek dan kakek tiba, biasanya mereka akan memarahiku karena mengganggu dongiti. Seharusnya aku kembali tidur saja daripada mengetuk rumah orang pagi buta.
Kejadian itu bukan hanya sekali dua kali, tapi selalu! ya, semenjak kecil aku sering dibantu oleh kebaikannya. Apalagi anaknya juga teman sekolahku, jadi aku sering bersamanya.
Kini, wanita itu telah tiada. Kebaikannya yang luar biasa padaku dan nenekku pastinya nggak akan aku lupakan.
Innalillahi wainnailaihirojiun. Semoga diberikan yang terbaik untuk Dongiti. Amin.